Skip to main content

Posts

Luka Hati

Ketika ada berita kerusuhan di Mako Brimob oleh sekian napi teroris, saya tak terlalu perduli. Meski kemudian, bertanya-tanya, bagaimana bisa ratusan napi teroris tanpa penjagaan maksimum. Entahlah, napi teroris ataupun terduga teroris bagi masyarakat awam seperti saya, nampak sama. Bisa jadi memang benar iya, bisa jadi juga salah. Kejadian berlanjut dengan pengejaran terduga jaringan teroris di Cianjur, bom di tiga gereja di Surabaya, bom di Rusunawa Wonocolo, bom di Mapolresta Surabaya dalam sekian hari berturut-turur membuat saya trenyuh. Bagian paling pilu adalah ada anak-anak disana. Saya baru memiliki satu putra laki-laki berumur enam tahun. Bagaimana mencintai anak dengan memberikan kasih sayang dan pendidikan terbaik adalah cita-cita semua orangtua, itu yang saya yakini. Sependek pengetahuan keislaman saya, susaaah sekali rasanya bisa mengerti bagaimana orangtua bisa mengajak anak-anak untuk melakukan aksi semacam itu. "Ini hanya sakit sementara. Ini hanya sakit d

KEMBALI MENULIS

Setelah absen menulis lebih dari empat puluh purnama, weekend ini kembali berjibaku merangkai kata demi kata. Ececiee… Ini sebagai pertanda benar dari perkataan seorang mentor nulis bahwa ketika kita sudah menemukan waktu dan cara nulis, mensejarahkan cerita itu menjadi nikmat, bukan lagi beban (seperti dikerjar setora 1m1c). Apalagi dikerjar deadline.   Tapi sekalinya mandeg-deg. Sudah deh, mulai lagi, mualaasnyaaa… Makin pinter saja nyari alasan Bedanya alasan kali ini cukup masuk akal. Trisemester pertama ini sungguh tidak mudah melalui hiks…hiks… Tepar pisan. Setiap sore Keenan selalu bertanya, “Bunda hari ini cape sekali apa cape sedikit?”   Dan ketika jawabannya “sedikit” dia akan tertawa lebar, karena itu berarti ada teman bermain. Kemana ayahnya? HAPE-AN dong! Kemudian   sejak Jumat-Sabtu-Ahad ini berusaha menuntaskan: -   satu naskah calon antologi FAKTA UNIK - satu naskah calon antologi dongeng FABEL - setoran grup terkeceh, 1minggu1cerita, dengan tema KEMBALI

Satu Kata, Janu

sumber:pixabay Air mata meleleh dari sudut mata bulat Sukma, perempuan kurus berambut sebahu itu. Tangannya melambai pelan. Bibirnya mengatup rapat. Pria berkacamata minus yang baru masuk ke dalam gerbong kereta membalas lambaian tangannya. Dia menangkupkan telunjuk dan ibu jari kedua tangannya membentuk hati dan ditempelkan ke dada. Belum genap enam bulan pria  yang selalu memakai kaos hitam itu menemani hari-harinya, menarikan kuas di atas kain kanvas. Lukisan abstrak yang sekian tahun  menjadi kebiasaan Sukma meluapkan rasa, mulai memperlihatkan garis-garis tegas. Ada perbedaan campuran warna yang  Sukma bubuhkan dalam setiap goresan. Pria itu itu tiba-tiba muncul dalam dunianya. Tak ada yang istimewa dengan pria itu -selain- ketenangannya saat bicara. Lembut. Setiap kata dieja sempurna menyerupai puisi yang bermakna santun. Hingga hari ini tiba. Raungan lokomotif serasa menusuk kembali luka lama. Peristiwa lima belas tahun silam, masih mengakar jelas dalam ingatan. Dentum

Vonis Dokter Tidak Selalu Benar

sumber:pixabay Meng handle pelatihan kali ini cukup menguras enerji saya. Pelatihan penilaian properti sederhana yang sudah saya gagas sejak dua tahun lalu. Baru di approve sekarang. Mahal memang. Akan tetapi investasi pendidikan kepada karyawan akan berimbas pada peningkatan kinerja. Harapannya sih gitu…  Walau hanya duduk mendengarkan plus dapat makan dan jajan yang bikin perbaikan gizi, tetap saja saat sampai rumah rasanya lungkrah. Bahkan belajar ngaji bersama anak saja sempat ada ‘mak less’ terkantuk. Maka belum juga jam 09.00 malam, saya sudah terlelap, sementara anak masih asyik bermain. Suami? Samaaaaa…. hadeuh . Seminggu ini agak aneh, nafsu makan saya berkurang. Di kantor saya dikenal tukang makan. Iya, porsi makan siang saya banyak plus doyan ngemil. Dan –apesnya- saya tidak bisa gemuk. Ya..segitu..aja dari jaman belum menikah. Kata  teman senior, biasanya setelah punya anak, badan sedikit melebar. Jadi kalau berat badan saat gadis dan setelah punya anak, sam

Kembali ke Titik Awal

“Satu-satunya jalan dengan bayi tabung.” Begitu penjelasan dokter Sp.Og yang baru saya kenal dua bulan terakhir. Jawaban ini seperti petir ditengah mendung yang bergelanyut di akhir Januari. Benar, saat saya keluar ruangan dokter memang sedang hujan deras, sehingga suasana lebih dramatis. Apakah setelah itu saya nangis bombay? Alhamdulillah tidak. Meski jawaban dokter pasca tes HSG ( hysterosalpingography ) tersebut, sungguh diluar dugaan saya dan suami. Ketika saya tanyakan penyebab dari tersumbatnya kedua tuba falopi tersebut, dokter menjawab, “bisa jadi karena pijatan dukun bayi setelah melahirkan anak pertama. Karena tanpa dibantu pijatan, rahim akan kembali semula."  Dorr! Jawaban dokter inilah yang justru membuat saya syok. Sebegitu entengnya jawaban tersebut. Sependek yang saya ingat, enam tahun lalu saya menggunakan dukun bayi hanya untuk merawat anak saya hingga 10 hari. Kenapa tidak 40 hari? Mahal! Asalkan pusar sudah lepas, sudah percaya diri lah memandikan b