Skip to main content

Posts

Euforia Asian Games 2018

                Sesaat setelah menonton acara   Opening Ceremony Asian Games 2018   yang maha megah itu, memang berasa euforia nya. Kemudian diikuti rentetan  pertandingan cabang olahraga tayang di beberapa   stasiun televisi. Meski tidak mengikuti satu persatu, setidaknya cabor sepakbola, badminton, voli dan atletik yang   menarik perhatian saya. Maksudnya, cuma cabang olah raga itu yang saya paham perhitungan skornya sehingga tahu mana yang menang mana yang kalah.   Sepak takraw? Nyerah deh, hehe…Oh iya, sempat lihat panjat dinding dan selebrasi pasangan suami-istri cabor pencak silat yang mendapat medali emas. How lucky , ya.                 Perolehan medali pun tak kalah keren dari Opening Ceremony . Dari peringkat   17 di Asian Games 2014, Indonesia melompat ke peringkat 4 dengan perolehan medali 98 buah yang terdiri dari   medali emas 32, medali perak 24 dan medali perunggu 43. Jempol empat! Nampak juga bintang-bintang olahraga baru yang menjadi trending topic seperti:  

Menghalau Galau pada Tri Semester Pertama

gambar Kehamilan yang kedua ini membuat saya mengoreksi ulang banyak hal tentang memandang orang lain beserta kebiasaan dan cara berpikirnya. Saya (seringkali) menganggap aneh orang yang bertindak, bersikap atau berkata yang berbeda dengan saya. Aneh, begitu label yang saya sematkan kepada orang   lain tersebut. Sederhana saja misalnya, teman sebelah ruangan kalau ketawa kenceeeeng pisan plus bergulung-gulung. Apa sih, namanya untuk ketawa yang mirip suara woody woodspecker gitu. Atau temen yang superlemot ketika di minta mengerjakan suatu tugas, idiiih dulu kuliah dimana sih… Sarkasme yah! Well kembali ke bahasan tentang kehamilan kedua ini, yang sungguh berbeda dengan delapan tahun lalu. Mungkin menjadi tidak istimewa bagi   ibuk-ibuk yang hamil hingga lebih dari empat kali. Dah hafal kali ya,   secara saya baru kali kedua, jadi cenderung membanding-bandingkan. Baca kisah awal  proses kehamilan Pada tiga bulan pertama, saya mengalami mabuk berat. Bukan dalam hal munta

Khitan Anak, Kapan Usia yang Tepat?

Sejak tiga bulan terakhir saya mulai rajin browsing usia berapa yang tepat untuk mengkhitankan anak. Tak satupun saya menemukan rekomendasi pilihan usia yang tepat. Lebih pada kesiapan anak dan orang tua, simpul saya. Semenjak lama,  saya memang merencanakan mengkhitankan anak pertama sebelum masuk sekolah dasar. Pertimbangan saya sederhana, kids jaman now semakin cepat proses baligh-nya.  Jika dahulu usia baligh kisaran usia 12 tahunan atau kelas 6 SD. Sekarang  sudah banyak anak perempuan maupun laki-laki mengalami proses balighnya pada usia 9-10 tahun. Gayung pun bersambut saat Keenan yang masih berusia tiga tahun bertanya apa itu khitan karena menonton tayangan Upin Ipin. “Supaya tidak gatal, itu dipotong sedikit.” Ketika usia dua tahun Keenan memang kadang merasa gatal  entah karena digigit semut atau bermain tanah. Tidak parah sih, hanya rewel sesaat. Ternyata benar bahwa tontonan televisi tersebut sangat membekas di pikirannya. Karena seringnya diputar ulang, saya cu

Ramadhan Berkah

Ramadhan 17 Bulan lalu sempat khawatir apakah saya bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan normal. Iya, mual tiada tara sejak kehamilan minggu ke lima membuat saya lungkrah. Setiap sore menjelang malam, rasanya malas mengerjakan apapun. Berbaring adalah pilihan yang paling nyaman. Maka Keenan pun jadi rajin memijat kaki emaknya seraya berkata, "Bunda kalau udah ga lemes sekali kita mainan ya.." Saya mengangguk, "mainan disini saja ya, main lempar bantal." ucap saya lemas. Baru minggu ke tujuh saya sudah berpikir, apakah akan sanggup melewati kondisi seperti ini hingga minggu ke empatpuluh. Ampuun! Keterpurukan saya berlangsung hampir enam minggu. Keenan pun jadi rajin membantu emaknya cuci piring, meskipun setelah itu harus ganti baju dan dapur jadi becek semua. Anak usia 6 tahun itu setiap saya pulang kerja pasti bertanya, "Bunda lemes sedikit atau lemes banyak?" Pak suami juga turut heran. Dia yang semangat dengan adanya tambahan calo

Luka Hati

Ketika ada berita kerusuhan di Mako Brimob oleh sekian napi teroris, saya tak terlalu perduli. Meski kemudian, bertanya-tanya, bagaimana bisa ratusan napi teroris tanpa penjagaan maksimum. Entahlah, napi teroris ataupun terduga teroris bagi masyarakat awam seperti saya, nampak sama. Bisa jadi memang benar iya, bisa jadi juga salah. Kejadian berlanjut dengan pengejaran terduga jaringan teroris di Cianjur, bom di tiga gereja di Surabaya, bom di Rusunawa Wonocolo, bom di Mapolresta Surabaya dalam sekian hari berturut-turur membuat saya trenyuh. Bagian paling pilu adalah ada anak-anak disana. Saya baru memiliki satu putra laki-laki berumur enam tahun. Bagaimana mencintai anak dengan memberikan kasih sayang dan pendidikan terbaik adalah cita-cita semua orangtua, itu yang saya yakini. Sependek pengetahuan keislaman saya, susaaah sekali rasanya bisa mengerti bagaimana orangtua bisa mengajak anak-anak untuk melakukan aksi semacam itu. "Ini hanya sakit sementara. Ini hanya sakit d